Dari milis panyingkul, saya dapat bahan bacaan bagus. Teks wawancara Aslan Abidin di tandabaca tentang kebudayaan lokal bugis makassar, khususnya tentang Sastra Lisan di link ini. Saya lumayan mendapatkan banyak pencerahan dan informasi bagaiman sastra atau budaya lokal dari tradisi lisan silam hingga tradisi digital saat ini.
Saya yang tidak paham akan kebudayaan/sastra sulsel kecuali bahasa bugis dan makassar nya, jadi lumayan dapat informasi mengenai dunia kebudayaan Bugis Makassar Mandar dari wawancara pak Aslan Abidin ini…(walaupun belum paham juga, atau cuman kulit ari nya/sebatas istilah ji)
Beberapa malah baru saya kenal istilahnya seperti Syair Torani (syair ikan terbang) dll…ada yg bisa memberikan contoh syair yang vulgar ini…hehehe, pengen tahu…apa agak mirip dgn syair lagu “Garring Apai Nona” yg terkenal itu?
Hanya satu hal yg membuat saya bangga, bahwa dgn interaksi di milis panyingkul dan (was) cotomakassar saya jadi kenal beberapa nama penyair kontemporer sulsel yg disebut di wawancara itu; Jimpe Rahman, Aan Mansyir, Ilham Halimsyah, termasuk senior macam Halim HD, Hendra Gunawan S Thayb, Sudirman HN. (Mohon maaf kalo penggolongan senior-junior ini tidak tepat adanya, btw, kok ndak ada namanya kak Hasymi disebut2…:( )
Secara keseluruhan, dari kaca mata awam saya, ada keresahan yg saya lihat dari pak Aslan, yakni kurangnya pemahaman penulis/budayawan muda sulsel akan teknik penulisaN dan pemahaman budaya ibu nya itu…
Misalnya beliau mengatakan….saya dapatkan kearifan lokal yang coba disampaikan. Tapi terlihat hanya tempelan semata…
atau di tempat lain beliau berkata …bisa dipastikan karya sastranya tidak berisi tentang kebudayaannya. Dia berisi kebudayaan modern….juga adanya kesan (bahkan dari judulnya saja: Mereka tidak tersentuh sastra lisan) bahwa salah satu parameter penting pemahaman budaya lokal adalah persentuhan nya dengan sastra lisan yang saat ini sulit ditemukan, mengingat faktor usia dan manuskrip yg ada…malah diganti menjadi sastra digital…
ada juga ‘penyesalan’ pak Aslan tentang terhambatnya tradisi sastra lisan/lokal oleh masuknya agama ke dalam pranata sosial masyarakat waktu itu, beliau menganggap bahwa masuknya agama ini yang diboncengi oleh invasi budaya arab membuat tradisi budaya lokal terpinggirkan….
ini agak kontras dengan perjalanan budaya jawa yang justru dipicu oleh kemampuan Sunan Kalijaga menghidupkan tradisi lisan jawa untuk penyebaran Islam….
Memang di beberapa rangkuman sejarah, bahkan hingga saat ini, pemahaman puritan ttg agama yang hitam-putih menyebabkan tergerusnya kebudayaan tempatan, tapi di tempat lain di periode sejarah (khususnya Eropa), masuknya agama ini malah memicu kreatifitas penemuan kembali kebudayaan itu sendiri…misalnya penemuan karya klasik Plato, Renaissance dan Aufklarung yg mendapatkan momentum dari Invasi tentara Islam dan/atau Perang Salib. Namun di Afghanistan, Arab Saudi, Pakistan, Indonesia, puritanisme menghalau dan menggiring budaya lokal ke pinggir…walau ndak semua….
Memang sayang sekali kalau didapati kenyataan menurut pak Aslan Abidin bahwa agama lah yg menjadi faktor terbesar terhambatnya perkembangan tradisi sastra lisan/lokal di daerah sulsel/sulbar.
wah…saya sempat 2 tahun hidup di wilayah yang mayoritas “bugis”…..mengasyikkan karena sering dikasih kue yang rasanya manis-manis…….he…he…
Info yg bgs