(foto saya thn 1987, dari kiri ; rusle, rusdin, rustam, diana, anto, emmang)
“Pak Amir sudah pensiun”, begitu jawab cucu saya, Iqbal-10tahun, – sesungguhnya saya merasa terlalu muda untuk menjadi kakek, – ketika saya iseng bertanya gmana keadaan sekolah nya, adakah yang telah berubah setelah berselang hampir 26 tahun saya tinggalkan? SD Negeri Inpres Pannampu 1 yang sekarang menjadi tempat si Iqbal menapak pendidikan dasar itu, pernah pula menjadi tempat saya ‘nongkrong’ selama enam tahun. sekolah itu sejatinya adalah sekolah yang amat sederhana, apalagi dibandingkan dengan sekolah tetangganya, SD Beroanging yang gedungnya bertingkat dan muridnya sombong-sombong.
Sekolah itu sederhana, bukan saja dari bangunannya yang hanya satu tingkat dengan fasilitas sederhana, tapi juga guru-guru nya teramat bersahaja. setiap tempat punya cerita nya, demikian juga dengan sekolah ini. Banyak cerita yang menghiasi masa kecil saya disana.
Saya menapak pertama kali bangku sekolah ini tiga bulan setelah masa sekolah dimulai, tepatnya di bulan Oktober 1982. Nomor induk atau stambuk saya, 8283023. 8283 menunjukkan tahun ajaran ketika memasuki sekolah; 1982/1983, dan 023 menunjukkan nomor urut daftar di kelas yang bersangkutan. Berbeda dengan kawan-kawan saya yang lain, saya mengenakan seragam yang tidak umum, seragam putih-putih.
Pak Amir, dengan badannya yang tegap pendek, rambut ikal dan senyum kebapakan, menyambut saya dengan antusias. Sambutan hangatnya tidak melepaskan beliau dari keheranan, “kenapa kamu baru masuk sekarang, setelah tiga bulan teman2mu bersekolah? saya jawab dengan tertunduk malu, “Bapak saya belum datang dari berjualan, saya belum punya seragam. Jadi malu kalau saya ke sekolah tidak pakai seragam”. Padahal saat saya masuk pun, sesungguhnya saya juga tak berseragam.
Yah, hari pertama yang mencemaskan. Saya lupa bagaimana detailnya, namun saya yakin saat itu saya dibanjiri perasaan cemas tak karuan takut disetrap atau diapakan karena bolos tiga bulan, plus kebingungan apa yang harus saya kerjakan di kelas dengan murid berjumlah lebih kurang 20-an itu. Di kelas itu, saya hanya mengenal tidak lebih dari lima murid, tetangga saya. Saya tinggal di suatu deretan perumahan yang kami namakan kompleks pasar Pannampu.
Kompleks kami dan SD Inpres Pannampu ini terhitung dekat, hanya diantarai oleh satu pom bensin dan satu jalan besar. Entah kenapa, semua anak-anak yang tinggal di kompleks memilih (atau didaftarkan oleh orang tua mereka) bersekolah di SD Inpres Pannampu, bukan di SD Beroanging yang megah. Persoalan pembayaran? saya kira tidak, karena kala itu pembayaran uang sekolah anak SD sudah gratis, yang beda mungkin uang BP3 dan Uang Pramuka. Gedung yang megah dan bertingkat sepertinya menjadi pelatuk resistensi tetangga-tetangga saya untuk menyekolahkan anak-anaknya di SD itu.
Saya ingat, Pak Amir saat itu sedang getol mengajar murid-muridnya membaca, tepatnya mengeja. Cara mengajarnya sungguh lucu. Dia melafalkan huruf demi huruf seperti tercekak. Misalnya mengeja huruf “b” dengan “eb”, atau huruf “r” dengan “rrrr”. Ah, sungguh menggelikan, dan terus terang buat saya cara beliau mengajar tidaklah membantu, malah menyusahkan.
Tapi kami semua menikmati pelajaran itu, dan hasilnya adalah bahwa saya baru bisa membaca ketika menginjak kelas 3 SD. Hahaha. Berbeda dengan anak murid sekarang yang masih duduk di Play Group sudah bisa membaca dengan lancar…