Akankah Novel ini kembali inspiratif?
Andrea Hirata kembali lagi, setelah lama ditunggu dan mendahulukan edisi englishnya dirilis, novel ke-empat dari tetralogi Laskar Pelangi yang bertajuk “Maryamah Karpov – Mimpi-mimpi Lintang” akhirnya dihidangkan ke khalayak pembaca melalui peluncuran awal 28 November 2008. Mereka yang sudah dari awal – mungkin sejak pertamakali novel ini dipopulerkan oleh Andy F Noya lewat tayangan talkshow kondangnya bertajuk Kick Andy – menggemari novel menggugah ini, atau yang mulai menggemari sejak filemnya tayang di seluruh Indonesia tentu sudah tak sabar melahap serial pamungkas setebal 518 halaman yang kabarnya dilunaskan Andrea Hirata hanya dalam sebulan saja. Setelah sempat membuat penggemarnya kelimpungan menanyakan tanggal terbitnya novel ke-empat ini, sambil menikmati film Laskar Pelangi garapan Riri Riza dan Mira Lesmana yang kemudian menjadi box office kedua setelah Ayat-ayat Cinta, akankah novel akhir dari tetralogi Laskar Pelangi ini menjadi klimaks dari tiga novel sebelumnya; Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor?
Para pembacanya tentu telah menyiapkan diri untuk kembali tergugah-bahkan kalau perlu terisak isak oleh sebuah memoar pengalaman hidup yang bisa dibilang sangat miskin fasilitas namun kemudian menyeruak menjadi sebuah pencapaian luar biasa. Tiga novel sebelumnya sungguh dipenuhi dengan cerita yang inspiratif dan mengundang kekaguman bagaimana seorang atau beberapa orang yang jauh dari deteksi kuadran keberhasilan namun kemudian diceritakan ternyata mampu mengorbit dengan sukses di salah satu koordinat cita-cita. Novel-novel sebelumnya memang meyakinkan pembacanya, bahwa bercita-cita tentu tak pantas dibilang bermuluk-muluk ria karena semuanya bisa tercapai adanya. Si tokoh Ikal yang menjejak sekolah formalnya di sebuah SD Muhammadiyah Gentong Belitong yang lebih pantas menjadi kandang kambing, akhirnya mampu melindapkan dirinya di bangku kuliah Universitas Sorbonne, bahkan sampai menjejak alam Siberia di Rusia hingga Kenya di Afrika Utara. Diantara mungkin ratusan juta penduduk Indonesia, baik yang miskin maupun yang kaya, hanya berbilang jari saja yang punya langkah kaki sejauh Ikal ini. Selain menebar virus inspiratif dari mimpi yang maujud, novel ini sejatinya juga membakar cemburu para petualang yang hanya mampu mendaki sebatas impian saja.
Maryamah Karpov yang menjadi main title novel ini diambil dari nama Mak Cik Maryamah, pemilik Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi yang sebelumnya pernah menjadi tokoh di salah satu bab di novel kedua Andrea: Sang Pemimpi nya. Mak Cik Maryamah adalah penggemar catur yang nge-fans pada Anatoly Karpov, jawara catur asal Rusia. Pada setiap pelanggannya ia selalu merekomendasikan langkah pembuka Karpov sehingga, sebagaimana kebiasaan orang Belitong menyematkan nama kedua si pemilik nama dengan nama lain yang secara historis dan antropologis punya keterkaitan erat dengan si pemilik nama, maka diimbuhi lah nama Mak Cik Maryamah dengan nama Karpov – sang pecatur pujaannya itu. Perempuan muda yang lihai memainkan biola yang menjadi cover novel ke-empat nya ini kemungkinan adalah Nurmi, anak gadis Mak Cik Maryamah Karpov. Nurmi, kemudian menjadi guru biola Ikal dalam novel ini, ketika Ikal sedang penat-penatnya membangun perahu seorang diri. Perahu ini kemudian dinamakan Mimpi-Mimpi Lintang, dan menjadi sub-title dari novel ini. Perahu yang tingkat kesulitannya teramat tinggi dan mengundang decak kagum sang maestro pembuat perahu orang-orang bersarung (Bugis?) Mapangi, adalah titian utama dalam alur cerita di novel ini, yang padamulanya juga hanyalah sebuah mimpi yang musykil. Namun, bukan Andrea Hirata kalau tak mampu menyulap mimpi menjadi barang laku. Kisah percintaan dengan A Ling yang sebenarnya bisa dianggap sebagai musabab dibangunnya perahu asteroid bertubuh langsing ini, dan mungkin juga menjadi inspirasi novel ini keseluruhan muncul dalam tiga bab terakhir, mungkin muncul sebagai kesimpulan yang romantis.
….Sekarang aku sampai pada satu titik pemahaman bahwa seluruh lika-liku hidupku, untuk perempuan (A Ling) inilah aku telah dilahirkan. Jarak antara kedua matanya adalah bentangan titik zenit dan nadir ekspedidi hidupku. Di dalam kedua mata (A Ling) itu, petualanganku menempuh benua demi benua, menyeberangi samudera, mengarungi padang, dan melawan angintelah mencapai tujuannya (hal 498).