Feeds:
Posts
Comments

Archive for October, 2008

anak-sekolah.jpgIrul, siswa kelas 8 salah satu SMP di kota Bogor, sebenarnya tak ingin libur di hari itu, 25 Oktober 2008. Sesuai jadwal, matematika dan prakarya – dua pelajaran kegemarannya sejak SD, disandingkan di hari sabtu itu. Tapi agenda politik kota Bogor merumahkan dirinya hari itu, bersama ratusan ribu siswa di kota Bogor; 152 Taman Kanak-Kanak, 285 Sekolah Dasar, 112 Sekolah Menengah Pertama, 52 Sekolah Menengah Atas, dan 62 Sekolah Menengah Kejuruan serempak meliburkan aktifitas pendidikannya demi pesta demokrasi ini. Sejatinya, ia dan teman-teman sekolahnya tak turut secara langsung dalam keramaian ini, namun dengan alasan kepraktisan dan ketertiban pemerintah kota berketetapan untuk menghapuskan enam jam pelajaran sekolah demi kesuksesan pemilihan langsung pertama ini.

Pemilihan walikota itu kemudian memang dianggap sukses, tidak ada kerusuhan, juga hal-hal lain yang memaksa aparat keamanan mengeluarkan pentungannya. Ketegangan hanya terjadi di bilik perhitungan suara, itupun hanya tergambar di kening pendukung calon yang resah suaranya jeblok. Merujuk hasil hitung cepat beberapa lembaga survei independen, kota Buitenzorg ini bakal diperintah lagi oleh incumbent walikota Bogor dengan keunggulan mutlak diatas 60 persen. Artinya, lebih dari setengah pemilih di Kota Bogor menyatakan keinginannya untuk dipimpin oleh sang Walikota untuk kedua kalinya, menyisihkan empat pasang kandidat lain yang punya hasrat politik yang sama. Satu hari kemenangan itu dirayakan meriah oleh sang calon terpilih dan para pendukungnya, namun satu hari itu juga menghilangkan kesempatan Irul dan teman-temannya untuk meraup ilmu yang sejatinya tidak murah itu.

Irul, dirumahnya yang tenang di Cibinong, tentu ingin mengisi hari lowongnya itu dengan bermain-main di luar rumah bersama teman sebayanya. Namun seperti pemerintah, ia juga khawatir kalau hari itu bakal rusuh. Dari pemberitaan yang disaksikannya di televisi, pilkada pertama ini cukup riuh dengan aksi para pendukung kandidat yang bertarung dan berpotensi menghasilkan konflik horizontal. Pilihan terbaik hari itu adalah dengan menjejak mata di ranah maya, browsing dan chatting dengan teman-temannya. Sempat pula dia menengok blognya yang lama tidak terupdate. Blog itu sejatinya hanya digunakan untuk meng-upload tugas-tugas sekolahnya. Ingin juga rasanya dia mencari tulisan atau berita yang bisa menukar keinginannya belajar matematika dan prakarya, atau paling tidak mencari postingan yang sejalan dengan aspirasinya, mengapa hari pemilihan harus dilaksanakan di hari yang semestinya dia bersekolah?

(more…)

Read Full Post »

rusle-motret.JPGBlogger, sejatinya adalah pewarta warga. Mereka, yang berasal dari beragam latar demografis, hadir menyuarakan interest pribadi melalui ranah internet. Di Indonesia saja, tahun ini ada sekitar 600 ribu blog. Diproyeksikan tahun depan angka ini mencapai jutaan. Melalui blog, masyarakat bisa disuapi jutaan informasi yang umumnya luput dari perhatian media mainstream. Mulai dari soal remeh lirik lagu, curhatan, keluhan soal layanan publik sampai analisis krisis finansial global bisa dinikmati masyarakat umum secara murah. Secara tidak langsung, blogger juga berpartisipasi mendorong pemahaman masyarakat melalui penyediaan informasi beragam.

Kota Bogor, yang berpenduduk 800ribu jiwa tentu menjadi obyek asupan informasi yang potensial. Blogger, yang umumnya masih tergolong pemuda, bisa berperan aktif dalam dua dimensi yang saling menguatkan. Pertama, Blogger bisa menjadi penyedia informasi bagi warga terutama dalam rangka penyampaian perspektif warga sendiri. Perspektif ini tentu menyumbangkan kerekatan bagi sesama warga yang berpikiran sama. Komunitas yang kuat tentu dengan tingkat toleransi yang tinggi, bisa menjadi kekuatan sosial yang mampu melakukan perubahan. Perkumpulan blogger di Indonesia kini bertumbuh, dan sering berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan pendidikan (edu-social), misalnya pelatihan IT, sekolah rakyat, aksi sumbang sosial dan sebagainya. Komunitas ini juga berpotensi menunjukkan kreatifitasnya menciptakan peluang bisnis, dengan menyediakan ruang iklan di blog mereka (adsense), atau membukukan blog secara komersial.

Fungsi kedua, Blogger bisa berlaku sebagai alat kontrol langsung dari dan oleh masyarakat terhadap kondisi sekitar, termasuk kebijakan pemerintah. Tanpa perlu demonstratif, Blogger bisa menyuarakan aspirasinya secara elegan dan praktis. Mungkin masih lekat dalam ingatan kita di akhir Januari 2007 pemerintah Malaysia memprotes postingan blogger Indonesia yang kecewa atas layanan pariwisata negeri jiran itu. Juga, ketika Myanmar dilanda demonstrasi massal yang berujung kepada kerusuhan, akhir 2007 lalu.

(more…)

Read Full Post »

copy-of-1-pasar-pannampu.JPG

note: Tulisan ini juga dimuat di Panyingkul.

Bapak saya, Haji Muhammad Nur, 67 tahun terlihat gelisah ketika sore itu duduk mengaso bersama anak-anaknya di ruang tetirah di salah satu rumah di bilangan Cibinong, Bogor. Sudah sepuluh hari ini ia berada di Bogor untuk berlibur dari akitiftas hariannya sebagai pedagang di Pannampu Makassar. Liburan ini juga dimanfaatkannya untuk menghadiri pesta aqiqah cucunya yang ke-12 yang dilangsungkan sepekan lalu. Sepuluh hari dilaluinya dengan bercengkerama bersama anak dan cucu-cucunya yang lucu, ia masih diminta untuk berlama-lama di Bogor, paling tidak sepekan lagi demi menuntaskan rindu. Tidak setiap tahun mereka bisa berkumpul bersama, begitu alasan utamanya.

Sebenarnya dia masih betah berlama-lama, namun ada satu hal yang membuatnya berat meluluskan keinginan anak-anak yang disayanginya itu. Pasalnya, pemilihan Walikota Makassar akan dilangsungkan Rabu depan, 29 Oktober 2008. Dia sudah mengikat janji dengan rekan-rekannya sesama pedagang di Pasar Pannampu untuk meramaikan pesta demokrasi ini. Di benak mereka semua, sudah ada satu nama kandidat yang akan mereka coblos di hari itu. Dan Aji, demikian beliau disapa oleh anak-anaknya, tentu tak ingin suara nya hilang begitu saja di hari ‘mattoddo’ itu. Satu suara beliau dianggap turut menentukan apakah kandidat pilihannya bisa menang atau kalah menuju kursi walikota Makassar.

“Apakah Aji khawatir dianggap warga kota yang tercela karena tidak menggunakan hak pilih? Ini kan sudah bukan jaman Soeharto, ketika Golput dianggap kriminal” cetus salah seorang anaknya. Anak yang lain menimpali, “Lagian, sewaktu semalam menonton acara debat kandidat di salah satu statiun TV kelihatannya tidak ada yang bagus tuh. Semuanya meragukan”. Meski jauh ribuan kilometer dari Makassar, mereka masih tetap setia mengikuti perkembangan kota tempat mereka tumbuh berkembang itu. Anaknya yang tertua ikutan menimpali, “Iya, kehilangan satu suara kan tidak berpengaruh juga”.

(more…)

Read Full Post »

Maha Tenggat

Betapa sering kita gamang dan dirisaukan oleh tenggat. Tenggat yang sejatinya kita ciptakan sendiri bisa menjadi sesuatu yang amat menakutkan! Dia yang awalnya dijadikan pengarah agar kita bisa mempersiapkan segala sesuatunya, di saat terakhir berubah menjadi cemeti.

Saya mungkin orang yang paling tidak konsisten dengan janji. Janji yang sering saya buat, kemudian menjadi beban yang berat manakala tenggat janji itu hampir terlewati. Dengan berbagai alasan, saya mencoba mencari justifikasi yang menyenangkan orang lain agar saya bisa lepas dari beban janji, dan tenggat bisa saya sesuaikan atau malah dimatikan bersama dengan janji yang tak tertunaikan.

Bukan cuman janji pada orang lain, bahkan diri sendiri pun sering saya kecelekan. Janji untuk konsisten membaca, menulis, atau bahkan sholat pun sering saya langgar. Tenggat, maaf saja, menjadi kata yang jadi pemanis diri saja.

Namun ada satu hal yang kemudian sering membuat saya tertegun sendiri. Bahwa ada tenggat yang maha tenggat yang tanpa kita sadari senantiasa rajin menegur dan memberikan nasehat dalam diam. Maha tenggat itu adalah kematian. Ketika ia datang, maka tidak ada lagi sebuah proses negosiasi sebagaimana yang sering kita lakukan. Kematian yang menjadi tenggat kehidupan ini menjadi akhir dari segala aktifitas sadar namun bebas seorang manusia.

Read Full Post »

Otokritik Seorang Kristen

Rekans,

Tanpa bermaksud untuk menonjolkan issue SARA ataupun memperuncing perbedaan di masyarakat kita yang heterogen, saya memforward tulisan ini. Menurut pendapat pribadi saya, tulisan ini bisa menambah referensi kita soal apresiasi terhadap kemanusiaan seseorang tanpa perlu memandang busana yang sedang ia gunakan ketika menjalankan fungsinya sebagai anggota masyarakat.

Kesejatian manusia sebagai mahluk Tuhan pasti mengemban sebuah nilai luhur untuk menjadi yang terbaik dan paling bermanfaat di alam ini tanpe perlu berkompetisi tak-sehat, dan terutama bukan dengan melucuti hak manusia lainnya. Tulisan yang baik!

http://daengrusle.com

http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2008/09/otokritik-seorang-kristen.html

Thursday, September 11, 2008
Otokritik Seorang Kristen

Oleh Ioanes Rakhmat

(Tulisan ini telah terbit dalam Majalah Madina, No. 9/Th 1/September 2008)

Jika kehadiran umat Kristen di suatu kawasan mayoritas Islam tidak disenangi umat mayoritas ini, dan ketidaksenangan ini akhirnya menimbulkan konflik tajam, orang dapat bertanya, siapa yang harus disalahkan, atau usaha apa yang perlu dilakukan untuk mencegah konflik ini muncul lagi di masa depan.

Sebagai respons, bisa jadi pihak Kristen akan membela diri dengan menyatakan bahwa dalam NKRI tidak dikenal pembedaan perlakuan terhadap yang mayoritas dan terhadap yang minoritas; bahwa keduanya sama-sama berhak untuk tinggal, bekerja dan beribadah di wilayah mana pun dari Republik ini. Dengan alasan ini, pihak Kristen lantas akan menyalahkan pihak Islam. Sebaliknya, umat Islam di kawasan itu akan menyalahkan pihak Kristen yang dinilai tidak peka terhadap perasaan umat Islam di situ yang khawatir dikristenkan. Saling menyalahkan ini tidak memberi manfaat apa-apa bagi upaya membangun kerukunan. Yang penting adalah memikirkan usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk mencegah berulangnya konflik Islam-Kristen. Salah satu usaha ke arah ini adalah masing-masing umat melakukan otokritik.

Misi pengkristenan
Sejak lahirnya, agama Kristen sudah menjadi suatu agama misioner yang mengarahkan penganutnya ke dalam dunia untuk mengkristenkannya. Mandat misioner pengkristenan ini memenuhi halaman-halaman Kitab Suci Perjanjian Baru. Tidak sedikit orang Kristen di Indonesia terang-terangan menghayati misi mengkristenkan dunia. Ada sekian sekolah teologi di Indonesia yang mengharuskan setiap lulusannya menghasilkan satu gereja baru yang dipenuhi orang Kristen baru, pindahan dari agama lain. Tapi, ada juga orang Kristen yang berdalih bahwa tugas panggilan mereka bukanlah untuk mengkristenkan dunia, melainkan untuk mengabarkan Injil kepada semua orang, supaya mereka menjadi murid-murid Yesus Kristus. Dalih ini sebenarnya sia-sia, sebab ketika orang menjadi murid Yesus Kristus, ia menjadi penganut agama Kristen, atau menjadi seorang yang dikristenkan. Sejak usia kanak-kanak, setiap orang Kristen sudah diajar untuk “mencari jiwa” bagi Yesus Kristus, dan jika banyak jiwa dihasilkan upah besar konon menanti di surga. Pendek kata, menjadi orang Kristen berarti menjadi orang yang harus mengkristenkan orang lain, dengan berbagai cara: mulai dari pemberitaan Injil secara lisan kepada orang bukan-Kristen, lalu pemberian bantuan material kepada orang miskin yang dilakukan banyak kali sebagai upaya pengkristenan terselubung, sampai pada bentuk pengkristenan yang lebih canggih berupa pempribumian atau indigenisasi teologi (= memberi bungkus/baju kultur lokal asli pada amanat Kristen yang universal dan tidak berubah).

Di tengah usaha-usaha pengkristenan ini, sebaiknya orang Kristen menyadari bahwa tidak ada satu pun orang Islam di Indonesia menghendaki sesamanya yang beragama Islam pindah agama, masuk Kristen. Begitu juga, tidak ada satu pun orang Kristen di Indonesia menginginkan sesamanya yang beragama Kristen menjadi sasaran pengislaman. Ini adalah kebenaran kendatipun orang bisa berpendapat bahwa dalam masyarakat yang plural perpindahan agama itu wajar bahkan merupakan hak setiap orang yang dijamin UU. Semua orang tahu, jumlah umat yang besar akan memberi keuntungan politik besar dan pada gilirannya keuntungan ekonomi yang besar juga. Jadi bisa dipahami jika umat Muslim di Indonesia akan terus berusaha menjaga dan mempertahankan posisi mayoritas tunggal yang menjadi penentu masa depan Indonesia, dan bisa dimengerti juga jika mereka tidak ingin menjadi warga negara kelas dua atau kelas tiga lagi seperti yang mereka pernah alami dalam zaman penjajahan dulu. Kebangkitan Islam pada aras global dewasa ini memberi tambahan energi pada usaha mempertahankan posisi dominan ini. Dengan aspirasi Islami yang kuat seperti ini, misi pengkristenan yang dipikul orang Kristen tentu saja akan dipandang membahayakan eksistensi dan ketahanan umat Islam; dan tak terhindarkan lagi misi Kristen ini sedang dilawan umat Islam dengan segala cara, termasuk dengan tindak kekerasan yang melawan hukum yang dilakukan sebagian kecil umat Islam di Indonesia.

Pada masa kini di Indonesia, semua orang tahu, gerak misioner pengkristenan yang dilakukan orang Kristen sedang diawasi dan dipelajari oleh umat Islam. Nah, keadaan di lapangan yang semacam ini tentu mengharuskan orang Kristen melakukan pemeriksaan diri, dan menilai apakah misi pengkristenan masih relevan untuk dijalankan. Sebagai ganti misi pengkristenan, sudah seharusnya orang Kristen membangun dialog dengan orang dari kepercayaan lain, untuk sama-sama tiba pada kebenaran-kebenaran yang lebih agung. Beberapa orang Kristen tentu saja tidak bersedia berdialog dengan umat beragama lain; bagi mereka misi pengkristenan justru tepat dilakukan di Indonesia mengingat 85 persen penduduk Indonesia masih Islam.

Simbol fisik
Kehadiran umat Kristen di suatu kawasan dapat dengan mudah diidentifikasi melalui bangunan fisik gedung gereja yang dilengkapi dengan sebuah salib sebagai simbol Kristen yang mengacu pada Yesus Kristus yang mati disalibkan, yang menjadi inti sari iman Kristen. Bangunan gereja memang bisa dikenali langsung karena bentuknya yang khas dan karena simbol salib yang menjulang di atasnya. Ruko atau rukan yang di kota-kota besar di Indonesia kerap dijadikan tempat beribadah umat Kristen juga dapat dikenali sebagai gedung gereja karena simbol salib ini.

Karena gedung gereja yang dianggap sebagai rumah Allah dirasakan sangat penting dan bernilai dan simbol salib begitu bermakna, umat Kristen terdorong untuk membangun gedung gereja mereka beserta salibnya dengan megah dan menelan biaya besar. Bahkan sekarang ini di Jakarta ada sebuah gedung gereja yang baru dibangun dengan menghabiskan biaya, kabarnya, sampai trilyunan rupiah. Kalau biaya besar tersedia dan izin resmi membangun gedung gereja sudah dimiliki, memang tidak ada yang bisa mencegah pembangunan gedung gereja yang sangat besar sekalipun. Dengan membangun gedung gereja yang megah-megah, orang Kristen sebetulnya sedang memuliakan diri mereka sendiri (self-glorifying), lalu melupakan Yesus yang telah mati terhina di kayu salib, yang lambang kematiannya, ironisnya, dipasang menjulang tinggi di gedung-gedung megah gereja.

Ya, mereka berhak dan dapat membangun gedung-gedung gereja besar karena mereka mempunyai banyak uang yang dihimpun dari banyak sumber. Tetapi masalahnya adalah konteks sosial di mana bangunan gereja didirikan. Kalau sebuah gedung gereja dibangun di tengah suatu konteks kehidupan sosial umat Islam mayoritas, dan di situ tidak ada orang Kristen tinggal, munculnya kecurigaan pengkristenan dan kemarahan umat Islam di kawasan itu sudah harus diantisipasi. Orang Kristen pun bisa dipastikan akan menuduh tengah terjadi pengislaman bila di suatu daerah Kristen dibangun sebuah masjid sementara tidak ada satu pun orang Islam di daerah itu. Jadi, konteks sosial harus serius dipertimbangkan ketika umat-umat beragama di Indonesia mau membangun rumah ibadah mereka.

Di tengah berbagai konflik Islam-Kristen, sekian orang Islam telah mengingatkan bahwa orang Kristen di Indonesia harus tahu bagaimana membawa diri sebagai umat beragama minoritas. Orang dengan berbagai alasan hukum dan politik boleh tidak setuju dengan pernyataan yang memang memihak dan penuh prasangka ini. Namun yang sedang dihadapi orang Kristen dalam hal ini bukanlah pertama-tama masalah hukum dan politik yang rasional, melainkan suasana hati dan persepsi umat Islam yang dibentuk oleh banyak faktor sosio-ekonomis, suasana hati dan persepsi yang bisa tidak rasional dan karena itu bisa destruktif.

Mengingat pada aras nasional rakyat Indonesia masih sangat banyak yang miskin, dan mereka yang miskin ini sebagian besar adalah orang Islam dengan bangunan-bangunan masjid mereka yang bersahaja, sudah sepatutnya orang Kristen di Indonesia, yang tinggal di daerah maupun di kota besar, tidak membangun gedung-gedung besar dan mewah tempat ibadah mereka. Gedung gereja yang megah bisa menyampaikan pesan-pesan negatif kepada umat Islam, bahwa orang Kristen itu kaya raya tapi tidak peka dan tidak peduli pada nasib sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama Islam, bahwa orang Kristen yang minoritas itu sedang dengan angkuh mempertontonkan kekuasaan dan kejayaan mereka, bahwa orang Kristen itu sedang bersiap-siap untuk mengkristenkan Indonesia secara besar-besaran. Daripada menimbulkan pesan-pesan negatif dan berbahaya ini, lebih baik dana besar yang mereka miliki digunakan untuk memberdaya rakyat miskin Indonesia dengan tanpa pamrih.

Fundamentalisme Kristen
Kita semua tahu, kalangan Islam yang paling sensitif terhadap beragam upaya pengkristenan di Indonesia adalah kalangan Islam garis keras yang terhimpun dalam sekian ormas Islam yang siap dimobilisasi setiap saat untuk berkonfrontasi terbuka di lapangan. Kita semua juga tahu, kalangan Kristen fundamentalis, karena fanatisme mereka, adalah kalangan yang paling tidak peka terhadap perasaan-perasaan umat Islam di Indonesia yang kebanyakan terkondisi untuk melihat diri sebagai umat yang sedang terancam oleh kekuatan-kekuatan global. Kalangan Islam fundamentalis sudah dengan terang-terangan ingin menjadikan syariat Islam sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena pengaruh gerakan pengkristenan global dari gereja-gereja di Barat, kalangan fundamentalis Kristen di Indonesia, seperti saudara-saudara mereka di Amerika Serikat, ingin juga menjadikan Yesus Kristus dan Alkitab yang dipandang sebagai firman Allah yang sempurna sebagai landasan membangun bangsa dan negara. Seorang pentolan kaum fundamentalis Kristen di Indonesia menyatakan bahwa jika ekonomi Indonesia didasarkan pada Yesus Kristus, ekonomi Indonesia akan jaya!

Jadi, fundamentalisme keagamaan memang merupakan masalah baik bagi umat Kristen maupun bagi umat Islam di Indonesia ketika kedua umat ini hendak bersama-sama membangun kerukunan di dalam suatu negara yang bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama. Orang Kristen fundamentalis harus diingatkan, jika Indonesia mau dijadikan negara agama, Indonesia bagaimanapun akan berubah bukan menjadi negara Kristen, tapi negara Islam. Dan sebelum ini terjadi, tentu akan timbul banyak konflik. Jadi sebaiknya fundamentalisme keagamaan apapun dijauhi.***

Read Full Post »

haru.JPG

Seberapa kuat tangan kita melakukan perubahan – ke arah yang lebih baik, meski sekecil hempasan riak ombak di samudera lepas? Jawabnya standard: sekuat usaha Anda mengubah ide baik menjadi gerak laku. Transformasi ini sebenarnya mudah sahaja, hanya dibutuhkan momentum di awal. Momentum ini adalah semisal hidayah dari Tuhan. Tuhan mungkin sudah membisikkan banyak hal baik dan penting, namun bisikan ini hanya akan menjadi energi yang statis sekiranya tidak ada loncatan spirit dari manusia untuk memulainya.

Selepas makan siang yang lahap dengan paru goreng dan sebotol teh dingin segar di sebuah warung Padang depan Masjid belakang kantor, mata saya kembali tertumbuk pada sesosok perempuan paruh baya berwajah dekil, berbusana rombeng dan oleng, menenteng belas kasihan dalam sebuah kantong keresek hitam. Ia menengadahkan mulut kantongan itu kepada siapapun yang berlalu di hadapan mereka. Dari mulutnya yang hitam dan kering, tak lupa diselipkan senyum tersisa yang seperti dipaksakan, lirih ucapan baku yang dilagukannya setiap saat “Den, bagi rezeki nya Den“.

Di lengan perempuan yang dibalut sehelai kain sarung berwarna pudar kusam, menggelayut diam bayi hitam yang terpapar terik siang. Jika tak sedang asik menetek pada botol berisi air, sesekali bayi hitam ini menatap tegun tepat ke wajah perempuan yang mungkin ibunya itu. Tak jauh dari keduanya, asik bermain dua bocah kecil di pelataran mesjid. Keasikan mereka seakan menyiratkan pesan dunia lain yang bukan bagian dari fragmen miris yang diputar stripping saban hari di mesjid itu. Dua bocah itu, bersama sang bayi hitam mungkin tak sadar bahwa nasib mereka sedang bergulat dengan isi kantong keresek hitam yang ditengadahkan sang perempuan.

Semenjak saya pindah di kantor baru ini, sejak awal ramadhan kemaren, perempuan ini bersama ketiga anaknya selalu rajin berdiri di depan pintu pagar mesjid. Sesekali ia ditemani perempuan lain yang tak kalah rombengnya, juga lengkap dengan ‘pengikut’ yang jumlahnya sama, tiga anak kecil; satu di pelukan, dua dilepas bermain di pelataran mesjid. Secara tak sengaja, saya pernah menjumpai perempuan ini di stasiun Tanjung Barat, bersama-sama menunggu KRL menuju selatan Jakarta.

Saya tak sempat mengikuti hingga perempuan itu turun dari kereta, tapi hati saya berbisik masygul, perempuan ini menjejak langkah yang cukup jauh demi untuk mengemis. Bahkan, menurut pandangan ekonomi, perempuan ini menjalankan fungsi positioning dan segmentasi yang cukup baik. Dia mangkal di lokasi yang cukup menjanjikan bagi ‘produk’ jualannya. Mesjid tempat dia ber’jual’an adalah gerbang terluar dua perusahaan multinasional; Big-Four Oil World Producer dan World Leading Manufacturer in Food Industry, yang memanfaatkan gerbang itu untuk tetirah makan siang, sholat atau sekedar pulang ke kontrakan. Tentunya penghasilan karyawan2 itu lebih dari cukup untuk menyisihkan sebagian rezeki di jalan mulia, apatah lagi mesjid yang berdiri adem di sisinya tentu selalu mengingatkan untuk berlomba-lomba menenggak ibadah dunia untuk bekal pahala akherat kelak.

Mata saya mungkin tak awas, tapi setidaknya saya tak pernah melihat ada yang lalu lalang, singgah barang sejenak untuk mengisi kantongan rombeng itu. Meski saya sering mencuri duga isi kantongan itu, saya kira isinya hanya recehan pemberat saja, atau mungkin isinya selalu dikeluarkan dan dipindahkan ke tempat yang lebih aman dan nyaman.

Jiwa pragmatis saya berusaha mengerti alasan mereka, para karyawan bergaji tinggi itu untuk melewatkan kesempatan mendulang pahala. Saban hari memberi berkah, memberi donasi kepada si perempuan sungguh bukan cara yang baik untuk membantu dia bangkit melawan ketakberdayaan ekonomi. Melihat postur si perempuan, dan daya tahannya berdiri dibawah terik selama lebih kurang tiga jam, dari sebelum duhur hingga ashar lewat, tentu menimbulkan rasa penasaran. Apakah tak sia-sia daya yang dianugerahkan Tuhan dengan tubuh sempurna itu dihabiskan hanya untuk menengadahkan tangan, merenggang waktu yang kiranya bisa lebih produktif dan mungkin menghasilkan lebih banyak?

Namun adakah yang lebih baik daripada memaki sebuah ketakberdayaan materi, yang mungkin berimbas kepada keterpurukan kreatifitas memanusiakan dirinya? Mungkin karyawan-karyawan itu sedang menjalankan ritual ‘mendidik’ si perempuan untuk mencari kail yang lain – yang lebih terhormat dibanding hanya sekantong keresek lusuh. Mengharap ikan tanpa kail, mungkin hanya bisa dipenuhi di pasar saja. Sedang pasar dipenuhi hukum yang jauh lebih rimba daripada masjid.

Ah, saya tak mampu berpikir serumit itu sekarang. Di benak saya hanya terngiang wajah kakanda saya – Rusdiana, yang padanya saya banyak berjanji untuk mengirimkannya banyak cahaya untuk alamnya kini.

Read Full Post »